Ketika saya mulai semakin dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu lapangnya untuk pergi memancing di sungai dekat rumah, ibu berharap dari ikan daripada hasil pancingan, ia dapat memberikan sedikit makanan yang lebih berzat untuk pertumbuhan. Sepulang dari memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mambangkitkan seleraku. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih ada di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku hiba melihat ibu seperti itu, hatiku juga tersentuh, lalu menggunakan suduku aku memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, ibu tidak suka makan ikan” —-PEMBOHONGAN IBU YANG KE DUA
Apabila aku sudah masuk Sekolah Menengah, demi membiayai persekolahan abang dan kakakku, ibu serangkali membuat kuih untuk dijual di pasar. Hasil jualan itu memberikan sedikit wang untuk belanja sokolah aku dan adik beradik. Di kala tengah malam, aku terbangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih tekun membuat kuit untuk dijual pada esokharinya. Aku berkata : “Ibu, tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu kena bekerja.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu tidak mengantuk, bila habis ibu tidurlah” —PEMBOHONGAN IBU YANG KE TIGA
Ketika peperiksaan tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi mengambil peperiksaan. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang sabar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi loceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu enak itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibasahi peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata : “Minumlah nak, ibu tidak haus!” —PEMBOHONGAN IBU YANG KE EMPAT
Setelah pemergian ayah karena sakit, ibu berperanan sebagai ayah dan ibu. Dengan melakukan pekerjaan dia yang dulu, ibu harus membiayai keperluan hidup sendiri. Kehidupan keluarga ku pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat keadaan keluarga yang semakin teruk, ada seorang pakcik yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku, baik masalah besar maupun masalah kecil. Jiranku yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan ku yang begitu sengsara, seringkali menasihati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasihat mereka, ibu berkata : “Saya tidak perkukan cinta dan perkahwinan lagi” —PEMBOHONGAN IBU YANG KE LIMA
Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu ku sudah tua tidak lagi kuat. Tetapi ibu tidak mahu menyusahkan anak anaknya, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit kuih untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di kota sering mengirimkan sedikit wang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, tetapi ibu berkeras tidak mau menerima wang tersebut. Malahan mengirim balik wang tersebut. Ibu berkata : “Ibu sudah ada duit” —PEMBOHONGAN IBU YANG KE ENAM
Setelah lulus dari ijazah, aku pun melanjutkan pelajaran untuk buat master dan kemudian memperoleh master di sebuah universiti ternama di Amerika berkat sebuah biasiswa di sebuah syarikat swasta. Akhirnya aku pun bekerja di syarikat itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Kota. Tetapi ibu yang baik hati, tetap tidak mahu menyusahkan anaknya, ia berkata kepadaku : “Ibu tak biasa tinggal di kota besar” —PEMBOHONGAN IBU YANG KE TUJUH
Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanser usus, harus dirawat di hospital, aku yang berada jauh di kota terus segera pulang untuk menjenguk ibunda yang tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah ditilam lusuhnya setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun dengan senyum yang terpancar di wajahnya, aku dapat mengesan penderitaan sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perit, sakit sekali melihat ibuku dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu dengan tenang berkata : “Jangan menangis anakku, Ibu tidak sakit” —PEMBOHONGAN IBU YANG KE KELAPAN.
Setelah mengucapkan pembohongannya yang kelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.
Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : “Terima kasih ibu..!” Coba difikir-fikir, sudah berapa lamakah kita tidak menelefon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktiviti kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan isteri dan kawan kita, kita pasti lebih peduli dengan mereka. Buktinya, kita selalu risau akan kabar istari dan suami , anak anak kita, risau apakah dia sudah makan atau belum, risau apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah kita semua pernah bertanya kabar pada orangtua kita? Risau apakah orangtua kita sudah makan atau belum? Risau apakah orangtua kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, cuba kita renungkan kembali lagi… Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi orangtua kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian hari.
Ibu, aku sayang dan rindu pada mu IBU. Tempatlah ibuku dikalangan orang yang beroleh rahmat. Amin.
Petikan : Cerita Motivasi
No comments:
Post a Comment